Tuesday, May 22, 2007

9 RASA TAKUT DAN CARA MENGATASINYA

Wajar jika batita memiliki rasa takut. Bentuknya juga macam-macam. Yang jelas, bila ia tak dibantu mengatasi ketakutannya, bisa mengalami fobia. Ketakutan, kata dr. Ika Widyawati, SpKJ dari Bagian Psikiatri FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, merupakan suatu keadaan alamiah yang membantu individu melindungi dirinya dari suatu bahaya sekaligus memberi pengalaman baru. Pada sejumlah batita, rasa takutnya masih sebatas pada hal-hal spesifik seperti takut pada anjing, gelap, atau bertemu orang asing.
Yang kerap terjadi, jelas psikiater ini, ketakutan anak justru muncul karena "ditularkan" orang tuanya. Karena takut pada sesuatu atau kondisi tertentu, "Tanpa sadar orang tua akan melarang anak dengan cara menakut-nakutinya." Misanya, "Awas ada kucing, nanti kamu dicakar!"
Akibatnya, anak merasa terancam alias tidak aman setiap kali melihat kucing. Padahal, umumnya kucing hanya akan marah dan mencakar jika diganggu.
Bentuk ekspresi ketakutan itu sendiri bisa macam-macam. Biasanya lewat tangisan, jeritan, bersembunyi atau tak mau lepas dari orang tuanya. Untungnya, seperti dijelaskan Ika, rasa takut ini akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. "Saat anak merasa aman dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya, hilanglah rasa takut tadi. Tentu saja perlu dukungan orang tua."
Yang jadi masalah adalah bila rasa takut mengendap dan tak teratasi sehingga berpengaruh pada aktivitas sehari-hari anak. "Bahkan bisa mengarah jadi ketakutan yang bersifat patologis. Malah bisa fobia alias ketakutan berlebih karena pernah mengalami kejadian tertentu." Misalnya, gara-gara takut tikus, tiap kali melihat hewan itu, ia akan menjerit ketakutan. "Tapi umumnya jarang muncul pada anak batita, kok," jelas Ika.
Berikut 9 jenis rasa takut yang kerap dialami batita dan tips mengatasi yang diberikan Ika.
1. TAKUT BERPISAH (SEPARATION ANXIETY)
Anak cemas harus berpisah dengan orang terdekatnya. Terutama ibunya, yang selama 3 tahun pertama menjadi figur paling dekat. Figur ibu, tak selalu harus berarti ibu kandung, melainkan pengasuh, kakek-nenek, ayah, atau siapa saja yang memang dekat dengan anak.
Kelekatan anak dengan sosok ibu yang semula terasa amat kental, biasanya akan berkurang di tahun-tahun berikutnya. Bahkan di usia 2 tahunan, kala sudah bereksplorasi, anak akan melepaskan diri dari keterikatan dengan ibunya. Justru akan jadi masalah bila si ibu kelewat melindungi/overprotektif atau hobi mengatur segala hal, hingga tak bisa mempercayakan anaknya pada orang lain. Perlakuan semacam itu justru akan membuat kelekatan ibu-anak terus bertahan dan akhirnya menimbulkan kelekatan patologis sampai si anak besar. Akibatnya, anak tak mau sekolah, gampang nangis, dan sulit dibujuk saat ditinggal ibunya.Bahkan si ibu beranjak ke dapur atau ke kamar mandi pun, diikuti si anak terus. Repot, kan? Belum lagi ia jadi susah makan dan sulit tidur jika bukan dengan ibunya.
Cara Mengatasi:
Jelaskan pada si kecil, mengapa ibu harus pergi/bekerja. Begitu juga penjelasan tentang waktu meski anak usia ini belum sepenuhnya mengerti alias belum tahu persis kapan pagi, siang, sore, dan malam serta pengertian mengenai berapa lama masing-masing tenggang waktu tersebut. Akan sangat memudahkan bila orang tua menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Semisal, "Nanti, waktu kamu makan sore, Ibu sudah pulang." Jika tak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beri tahu anak lewat telepon. Sebab, anak akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah rasa takut anak. Ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang ibu belum datang
2. TAKUT MASUK "SEKOLAH"
Bukan soal mudah melepas anak usia batita masuk playgroup. Sebab, ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Padahal, tak semua anak bisa gampang beradaptasi. Dari pihak orang tua, tidak sedikit pula yang justru tak rela melepas anaknya "sekolah" karena khawatir anaknya terjatuh kala bermain atau didorong temannya.
Cara Mengatasi:
Orang tua tetap perlu mengantar anak ke "sekolah" karena ini menyangkut soal pembiasaan. Kalaupun di hari-hari berikutnya ada sekolah-sekolah yang bersikap tegas hanya membolehkan orang tua menunggu di luar, sampaikan informasi ini pada anak. Guru pun harus bisa menarik perhatian anak agar tidak terfokus pada ketiadaan pendampingan orang tuanya dengan bermain. Di saat asyik bermain dengan teman-temannya niscaya ia akan lupa.
3. TAKUT PADA ORANG ASING
Di usia-usia awal, anak memang mau digendong/dekat dengan siapa saja. Namun di usia 8-9 bulan biasanya mulai muncul ketakutan atau sikap menjaga jarak pada orang yang belum begitu dikenalnya. Ini normal karena anak sudah mengerti/mengenali orang. Ia mulai sadar, mana orang tuanya dan mana orang lain yang jarang dilihatnya.
Cara Mengatasi
Di usia batita seharusnya rasa takut pada orang asing sudah mulai berangsur hilang karena, toh, ia sudah bereksplorasi. Semestinya anak sudah memperoleh cukup pengetahuan untuk menyadari bahwa tak semua orang asing/yang belum begitu dikenalnya merupakan ancaman baginya.
Biasanya, justru karena orang tua kerap menakut-nakuti, sehingga anak bersikap seperti itu. "Awas, jangan deket-deket sama orang yang belum
kamu kenal. Nanti diculik, lo!" Memang boleh-boleh saja orang tua menasehati anak untuk berhati-hati/bersikap waspada pada orang asing, tapi sewajarnya saja dan bukan dengan cara menakutnakutinya.
4.TAKUT PADA DOKTER
Mungkin pernah mengalami hal tak mengenakkan seperti disuntik, anak jadi takut pada sosok tertentu. Belum lagi kalau orang tua rajin "mengancam" setiap kali anak dianggap nakal. "Nanti disuntik Bu Dokter, lo, kalau makannya enggak habis!" atau "Nanti Mama bilangin Pak Satpam, ya!
Cara Mengatasi:
Izinkan anak membawa benda atau mainan kesayangannya saat datang ke dokter sehingga ia merasa aman dan nyaman. Di rumah, orang tua bisa membantunya dengan menyediakan mainan berupa perangkat dokter-dokteran. Biarkan anak menjalani peran dokter dengan boneka sebagai pasiennya. Secara berkala ajak anak ke dokter gigi untuk menjaga kesehatan giginya. Tak ada salahnya juga mengajak dia saat orang tua atau kakak/adiknya berobat gigi. Dengan begitu anak memperoleh infomasi bagaimana dan ke mana ia harus pergi untuk menjaga kesehatan giginya. Lambat laun ketakutannya pada sosok dokter justru berganti menjadi kekaguman.
5. TAKUT HANTU
"Hi, di situ ada hantunya. Ayo, jangan main di situ!" Gara-gara sering diancam dan ditakuti seperti itu, batita yang sebetulnya belum mengerti sama sekali tentang hantu, jadi tahu dan takut. Bisa juga karena ia menonton film horor di televisi.
Cara Mengatasi:
Jauhkan anak dari tontonan tentang hantu. Orang tua pun seyogyanya jangan pernah menakut-nakuti anak hanya demi kepentingannya. Bisa pula dengan membelikan buku-buku cerita atau tontonan anak mengenai karakter hantu atau penyihir yang baik hati.
6. TAKUT GELAP
Biasanya juga gara-gara orang tua. "Mama takut, ah. Lihat, deh, gelap, kan?" Takut pada gelap bisa juga karena anak pernah dihukum dengan dikurung di ruang gelap. Bila pengalaman pahit itu begitu membekas, bukan tidak mungkin rasa takutnya akan menetap sampai usia dewasa. Semisal keluar keringat dingin atau malah jadi sesak napas setiap kali berada di ruang gelap atau menjerit-jerit kala listrik mendadak padam.
Cara Mengatasi:
Saat tidur malam, jangan biarkan kamarnya dalam keadaan gelap gulita. Paling tidak, biarkan lampu tidur yang redup tetap menyala. Cara lain, biarkan boneka atau benda kesayangannya tetap menemaninya, seolah bertindak sebagai penjaganya hingga anak tak perlu takut.
7. TAKUT BERENANG
Sangat jarang anak usia batita takut air. Kecuali kalau dia pernah mengalami hal tak mengenakkan semisal tersedak atau malah nyaris tenggelam saat berenang hingga hidungnya banyak kemasukan air.
Cara Mengatasi:
Lakukan pembiasaan secara bertahap. Semisal, awalnya biarkan anak sekadar merendam kakinya atau menciprat-cipratkan air di kolam mainan sambil tetap mengenakan pakaian renang. Bisa juga dengan memasukkan anak ke klub renang yang ditangani ahlinya. Atau dengan sering mengajaknya berenang bersama dengan saudara/teman-teman seusianya. Tentu saja sambil terus didampingi dan dibangun keyakinan dirinya bahwa berenang sungguh menyenangkan, hingga tak perlu takut. Kalaupun anak tetap takut, jangan pernah memaksa apalagi memarahi atau melecehkan rasa takutnya. Semisal, "Payah, ah! Berenang, kok, takut!"
8. TAKUT SERANGGA
Tak sedikit anak yang takut pada jangkrik, kecoa atau serangga terbang lainnya. Sebetulnya ini wajar, hingga orang tua jangan tambah menakut-nakutinya, "Awas, nanti ada kecoa, lo." Hendaknya justru bisa memahami karena anak usia ini mungkin saja menemukan banyak hal yang dapat membuatnya takut.
Cara Mengatasi:
Boleh saja orang tua memberi pengenalan tentang alam binatang pada anak. Tak perlu kelewat detail seperti halnya profesor memberi kuliah. Tugas orang tua sebatas memahami ketakutan anak sekaligus membantunya merasa aman. Boleh saja katakan, "Ayah tahu kamu takut jangkrik." Cukup segitu dan jangan paksa anak berada terus-menerus dalam pembicaraan mengenai rasa takutnya. Jangan pula memaksa anak bersikap sok berani menghadapi ketakutannya. "Belum saatnya mencobakan anak melihat atau malah menyentuhkan serangga yang ditakutinya. Ini hanya akan membuat anak semakin takut." Bila dipaksakan terus, anak malah bisa fobia pada serangga. Biarkan anak tertarik dengan sendirinya dan biasanya ini terjadi setelah anak berusia 2 tahunan. Jika anak memang takut kala ada serangga yang terbang di dekatnya, bantulah untuk mengusirnya bersama
9. TAKUT ANJING
Wajar anak batita takut anjing mengingat penampilan binatang ini memang terkesan galak dengan gonggongan dan tampang yang garang. Belum lagi kebiasaannya suka melompat, menjilat atau malah mengejar. Tugas orang tualah untuk memahami sekaligus membantu anak mengatasi ketakutannya.
Cara Mengatasi:
Tak harus memaksa anak memelihara anjing atau mendorong anak menghadapi rasa takutnya dengan terus-menerus memberi 'ceramah', semisal "Ngapain, sih, takut sama anjing. Anjingnya, kan, baik." Menihilkan ketakutan anak justru akan membuat anak semakin takut dan bukan tidak mungkin akhirnya malah berkembang jadi fobia yang sulit diatasi.
Bila anak memang takut dan ketika berjalan bertemu anjing, pegangi tangannya untuk meyakinkannya ia bisa aman melewati binatang yang ditakutinya bersama orang tuanya. Jangan lupa untuk tetap menjaga jarak aman dari temperamen binatang yang relatif sulit diduga. Bisa juga dengan menunjukkan keakraban antara anjing sebagai hewan peliharaan dengan majikannya lewat cerita/dongeng. Atau kenalkan pada anjing tetangga dan tak ada salahnya meminta si pemilik memperlihatkan bagaimana menjalin keakraban dengan anjingnya tanpa harus merasa takut.
Dedeh Kurniasih.Foto: Iman Dharma (nakita)

3 MANFAAT SUKA MENJATUHKAN BENDA

Tiap batita akan melalui fase hobi menjatuh-jatuhkan benda. Mengapa batita suka sekali pada aktivitas ini? Sensasi apa, sih, yang dirasakannya saat melihat benda yang dipegangnya jatuh?Sampai pegal rasanya menemani Reno bermain. Maklum, si kecil yang baru saja menginjak usia 1 tahun ini lagi suka-sukanya menjatuhkan barang apa pun yang dipegangnya. Setelah diambilkan, benda tersebut akan dijatuhkannya lagi, begitu terus sampai yang menemaninya bermain bosan karena berulang kali harus membungkuk mengambilkan benda yang ia jatuhkan. "Tiap batita akan mengalami fase ini, walaupun waktu mulainya tidak harus persis sama. Tapi yang jelas tahapan ini akan dilalui di usia batita awal," ujar Vera Itabiliana, Psi., dari Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Jakarta.
Meski tiap anak batita pasti melewati tahap ini, tapi durasinya bisa berbeda-beda pada tiap anak. "Ada yang melaluinya dalam jangka waktu sebentar saja, tapi ada juga yang sedikit lebih lama." Yang justru perlu diwaspadai adalah bila sampai berusia 1 tahun, kemampuan menggenggam sebagai awal fase menjatuhkan belum terlihat berkembang. "Untuk melatihnya, berikan anak benda-benda yang menarik untuk diraih dan digenggam sebagai sarana latihannya," saran Vera. Selain itu orang tua juga bisa memberikan contoh bagaimana menggenggam dan kemudian menjatuhkan benda tersebut agar anak bisa merasakan sensasi yang didapat.
EKSPLORASI INDRA
Sensasi apa sebenarnya yang dirasakan batita saat menjatuh-jatuhkan barang? "Yang paling menarik buat anak adalah suara yang ditimbulkan benda jatuh tersebut," tutur Vera. Bisa suara gemerincing mainan, kaleng, atau bahkan suara barang pecah. Di usia ini indra anak sedang dalam tahap eksplorasi besar-besaran. Saat melakukan aktivitas tersebut, anak akan menemukan fenomena yang menarik. Di antaranya indra pendengaran akan menangkap bunyi benda jatuh. Indra penglihatannya akan menangkap benda bergerak dari atas ke bawah. Sementara indra perabanya akan merasakan benda yang tadinya ada di tangan kemudian terlepas. Dari hal-hal itulah anak akan belajar bahwa yang ia lakukan sendiri bisa menimbulkan sesuatu yang menyenangkan.

BANYAK MANFAAT
Karena dilakukan terus-menerus, sering kali orang dewasa yang menemani si batita bermain jadi bosan karena harus bolak-balik mengambilkan benda yang dijatuhkannya. "Padahal banyak sekali manfaat yang bisa didapat anak saat melakukan kegiatan tersebut. Lewat fase ini sebenarnya anak melatih keterampilan tangannya. Anak belajar mengkoordinasikan dan mengarahkan gerakan tangannya untuk tujuan tertentu," papar Vera. Fase ini biasanya mengikuti fase belajar menggenggam lalu disusul dengan keterampilan melempar-lempar bola. Selain keterampilan tangan, ada 3 kemampuan lain yang sedang dikembangkan batita melalui fase ini, yaitu: o Mengembangkan persepsi tentang ruang. Di sini anak mulai mengenali posisi atas dan bawah meski mereka belum punya kemampuan berbahasa untuk memberikan label mana atas dan mana bawah. o Belajar hubungan sebab akibat. Anak belajar bahwa sesuatu yang ia lakukan dapat menyebabkan sesuatu kejadian yang menyenangkan, seperti bunyi jatuh, perilaku "lucu" ayah atau ibu ketika mengambilkan benda yang jatuh dan sebagainya. Karena kegiatan ini menyenangkannya, ia akan cenderung melakukannya berulang-ulang. o Mengembangkan kemampuan merencanakan dan menentukan tujuan. Pertama kali menjatuhkan benda mungkin tidak disengaja. Namun setelah mendengar dan melihat reaksi yang dihasilkan dari benda-benda yang jatuh, anak akan merasakan sensasi dan kemudian mengulanginya. Selanjutnya tindakan menjatuhkan benda menjadi tindakan yang sengaja dilakukannya. Ini dapat diartikan, anak sudah mengembangkan kemampuan berpikir dan merencanakan melakukan sesuatu demi tujuan tertentu. Dalam hal ini adalah mendapatkan sensasi bunyi dan gerak benda jatuh.
7 STIMULUS YANG TEPAT
Tiap tahapan yang dilalui anak akan mendatangkan manfaat. Tentu saja selama orang tua dapat memberikan stimulus yang tepat. Yang penting bagi orang tua adalah betapapun "menyebalkannya" perilaku anak saat getol-getolnya menjatuhkan benda, harus diingat bahwa hal ini merupakan fase belajar bagi anak. Jadi, cobalah memanfaatkan momen ini untuk mengembangkan kemampuannya dengan 7 bentuk stimulus berikut:
  1. Berikan benda/mainan yang aman untuk dijatuhkan, misalnya yang terbuat dari plastik, seperti sendok, mangkuk kecil, dan sejenisnya.
  2. Usahakan memberikan berbagai benda yang menghasilkan beragam suara saat jatuh. Dengan demikian stimulus pendengaran anak pun jadi lebih kaya. Ia akan belajar bahwa ada macam-macam bunyi dari benda yang berlainan.
  3. Orang tua harus ikut terlibat dalam aktivitas ini. Jadi, jangan puas hanya sekadar jadi "tukang mengambilkan" benda yang dijatuhkan si batita. Keterlibatan ini sangat bermanfaat untuk membantu proses belajar anak. Untuk mengenalkan konsep ruang, misalnya, katakan "Ya... sendoknya jatuh deh ke lantai." Jadi tidak sekadar mengambilkan benda yang dijatuhkan anak dan memberikannya kembali tanpa komentar apa pun.
  4. Selain mengajarkan konsep ruang, orang tua juga bisa mengajarkan nama-nama benda kepada anak. Contohnya saat anak menjatuhkan bola, mainan, buku dan sebagainya, sebutkan nama benda-benda tersebut. Makin sering benda itu dijatuhkan maka makin sering namanya diulang-diulang, hingga dengan sendirinya anak akan mengenali apa nama benda yang dijatuhkannya itu.
  5. Berikan anak sejumlah barang untuk dijatuhkan. Setelah barangnya habis (sudah jatuh semua) atau ketika orang tua merasa lelah atau dirasa aktivitas tersebut sudah berlebihan, hentikan. Caranya dengan mengalihkan perhatiannya ke aktivitas lain seperti memukul-mukul kaleng yang juga menimbulkan sensasi bunyi. Jadi, jangan hanya meminta anak untuk menghentikan aktivitasnya begitu saja tanpa ada pengganti.
  6. Orang tua juga dapat memberikan bola untuk digenggam dan digelindingkan karena fase menjatuhkan ini akan berkembang menjadi kemampuan melempar atau menggelindingkan. Walaupun kemampuan anak belum sampai tahap ini, sebaiknya orang tua berusaha untuk selalu berada satu langkah di depan kemampuan anak, agar ia tetap terstimulus untuk terus mengembangkan kemampuannya.
  7. Selama melakukan proses belajar, sebaiknya anak tidak ditekan dengan stimulasi yang berlebihan ataupun sebaliknya dihentikan dari kegiatannya dengan alasan apa pun. Memang, akan sangat melelahkan dan bisa menyulut frustrasi, tapi ingat banyak hal yang sedang dikembangkan anak melalui tahapan ini.
UNGKAPAN RASA MARAH
Yang justru perlu diwaspadai adalah ketika aktivitas menjatuh-jatuhkan benda masih terlihat dominan selepas anak berusia 3 tahun. Lain hal jika anak memang mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik atau cacat fisik. Sebab selepas usia ini, tukas Vera, tahapan tersebut harusnya sudah terlewati. Amati dengan jeli apakah aktivitas menjatuhkan benda-benda ini bertujuan untuk menarik perhatian atau sebagai pelampiasan rasa marah. Jika benar demikian, maka orang tua harus segera mengatasinya. "Kalau sebagai luapan rasa marah, orang tua perlu menenangkan anak dan memberi contoh bagaimana mengekspresikan rasa marah dengan tepat. Tentu saja bukan dengan menjatuh-jatuhkan barang secara sengaja," saran Vera.
Marfuah Panji Astuti

Mendidik Agar Mandiri

KEMANDIRIAN anak harus dibina sejak dini. Beberapa hal di bawah ini perlu diperhatikan orang tua yang menginginkan anaknya tumbuh menjadi pribadi mandiri.

1. Tumbuhkan rasa percaya diri.
Rasa percaya diri memegang peranan penting. Rasa itu dapat tumbuh jika anak diberi kepercayaan untuk melakukan hal yang ia mampu kerjakan sendiri. Misalnya, saat bayi sudah bisa memegang botol sendiri, bantu dia supaya benar-benar bisa melakukan.

2. Pahami risiko anak belajar.
Jangan takut rumah kotor. Itu risiko yang harus dihadapi saat anak belajar makan atau berjalan. Plastik besar yang diletakkan di bawah meja makan dapat memudahkan Anda saat akan melakukan pembersihan.

3. Beri kepercayaan
Hal terbesar yang dapat menghambat rasa percaya diri pada anak adalah kekhawatiran dan ketakutan orang tua. Perasaan takut dan khawatir sering kali membuat orang tua mengerjakan pekerjaan anak yang sebenarnya bisa mereka lakukan sendiri. Jika menginginkan anak Anda mandiri maka konsekuensinya harus benar-benar memberi kepercayaan. Tentu saja, semuanya sesuai dengan ukuran usia.

4. Komunikasi terbuka
Sediakan waktu untuk berkomunikasi secara terbuka. Bila anak Anda tertutup, pancing dengan pertanyaan ringan tentang kegiatannya hari itu. Jangan langsung melarang bila Anda tidak setuju dengan kegiatannya. Tanyakan dulu apa alasan si anak. Kalau buah hati bertanya tentang suatu hal, beri penjelasan yang mudah dimengerti.

5. Kebiasaan
Salah satu peranan orang tua dalam kehidupan sehari-hari adalah membentuk kebiasaan. Kalau anak sudah terbiasa dimanja dan selalu dilayani, ia akan menjadi anak yang selalu tergantung kepada orang lain.

6. Disiplin
Kemandirian berkaitan erat dengan disiplin. Sebelum seorang anak dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, ia terlebih dahulu harus didisiplinkan oleh orang tuanya. Syarat utama dalam hal ini adalah pengawasan dan bimbingan yang konsisten dan konsekuen. Jika Anda bekerja, yakini betul bahwa pengasuh anak konsisten dan terampil dalam memberlakukan disiplin belajar yang Anda terapkan.

7. Jangan terus ‘menyuapi’.
Memberikan tambahan kursus belajar tambahan bukan cara yang tepat untuk mendidik anak. Guru les biasanya punya kecenderungan untuk terus ‘menyuapi’ muridnya. Ingatlah, disiplin belajar harus dimulai dari rumah
.

Perkembangan Emosi Balita

Bertambah usia anak, semakin beragam reaksi emosinya. Kalau Anda tepat menyikapi gejolak emosinya, akan tumbuh kematangan anak dalam mengekspresikan berbagai emosinya.

Emosi manusia mengalami perkembangan yang dimulai sejak lahir hingga dewasa. Dengan bertambahnya usia anak, reaksi emosinya pun akan semakin beragam. Tak sulit bagi orang tua untuk mengenali berbagai reaksi emosi anak ini. Tapi, yang paling penting adalah menyikapi emosi anak dengan tepat. Kita semua, tentunya, ingin menumbuhkan kematangan si kecil dalam mengekspresikan berbagai emosinya. Bagaimana caranya?

Ekspresi emosi terus berkembang
Erik H. Erikson , tokoh perkembangan psikososial masyhur kelahiran Jerman, merumuskan tahap perkembangan emosi manusia yang disebutnya krisis psychosocial, dari lahir hingga dewasa. Dalam artikel ini dibahas tahap perkembangan emosi anak sampai usia lima tahun.

Menumbuhkan rasa percaya
Masa ini terjadi sejak bayi hingga kira-kira usia dua tahun. Anak usia ini bila dirawat dengan penuh cinta, akan tumbuh dengan rasa percaya diri dan optimis.
Dari bayi hingga usia satu tahun, anak mengalami proses kematangan emosi tertentu. Ekspresi positif, misalnya, ia munculkan melalui senyum. Menjelang tahun kedua usianya, anak sadar bahwa senyumnya dapat membuat orang lain di sekitarnya merasa gembira. Sebaliknya, si kecil pun paham bahwa dengan menangis ia dapat mengendalikan orang di sekitarnya.
Masalah emosi yang bisa muncul pada anak usia ini adalah takut gelap, takut orang asing, takut sendiri, dan takut suara keras. Orang tua amat berperan dalam mengelola problema ini. Anak yang selalu memperoleh rasa aman, ditenangkan dan tidak ditakut-takuti, dengan sendirinya akan lebih mudah mengatasi rasa takutnya. Ia akan lebih mandiri.

Belajar mandiri
Proses mulai belajar mandiri terjadi di usia 18 bulan hingga empat tahun. Anak usia ini sebenarnya berada pada awal krisis emosi. Ia cenderung tantrum , kemauannya tak terbantahkan, bandel dan keras kepala. Karena itu, kita sering dengar istilah terrible two's . (sambung dengan yang di bawah)Semua itu terjadi karena sebenarnya anak seusia ini penuh spontanitas. Ia akan cenderung mengekspresikan perasaannya seketika itu juga..
Masalah emosi yang bisa muncul pada anak usia ini adalah takut berpisah, gerakan yang tiba-tiba, bunyi-bunyian asing serta ketakutan yang terjadi hanya pada malam hari. Kunci permasalahan pada tahap ini ialah belajar mengelola perasaan dan spontanitas, tanpa menghilangkannya sama sekali.

Belajar berinisiatif
Masa ini terjadi di usia sekitar tiga hingga lima tahun. Bila pada usia-usia sebelumnya reaksi emosi anak ditangani dengan baik, ia akan mengembangkan kemampuan berimajinasi atau berfantasi dengan sehat pula. Ia juga akan mampu bekerja sama dengan orang lain dalam jangka waktu lama, serta dapat memimpin dan mengikuti pemimpin. Tetapi di usia ini anak juga mengalami ketakutan, tergantung pada teman sekelompoknya, dan masih terlalu tergantung pada orang dewasa.
Anak usia ini paham bahwa dorongan-dorongan emosinya memiliki konsekuensi. Kalau ia mengatakan, “Aku benci kamu!” Ia akan mengaitkan kata-katanya tadi dengan wajah sedih yang ditampilkan lawan bicaranya.
Ini memberinya kemampuan untuk merencanakan dan mengantisipasi.Ia mampu memisahkan mana perasaannya, mana perasaan orang lain, dan dampaknya terhadap perasaannya sendiri.
Masalah emosi yang bisa muncul pada usia-usia ini adalah fobia, mimpi buruk, gangguan pada bicara, mengompol, takut binatang, membayangkan monster dan takut terluka.

Mendukung perkembangan emosi anak
Si kecil butuh dukungan bagi perkembangan emosinya. Lima prinsip berikut ini perlu diketahui orang tua untuk mengembangkan emosi anak, yaitu:

Tetapkan waktu bermain setiap hari dengan anak .

Beri kesempatan pada anak untuk menentukan apa yang ingin ia lakukan bersama Anda. Tempatkan anak pada posisi pemimpin dan Anda pada posisi yang dipimpin.

Luangkan waktu untuk memecahkan masalah bersama anak .

Ketika anak merasa sedih karena tidak diajak bermain oleh temannya, bantu anak mencari penyebabnya, kemudian cari bersama pemecahannya. Acara semacam ini membantu anak belajar berpikir logis dalam mengatasi masalah emosinya, dan menumbuhkan kemampuannya untuk mengantisipasi, serta berkesempatan mengatasi masalah emosinya sendiri.

Melihat masalah dari sudut pandang anak .

Kalau kita sungguh-sungguh mendengarkan dan berempati terhadap anak, kita dapat memahami alasan anak melakukan segala sesuatu. Misalnya, saat si kecil mengamuk, Anda perlu mendengarkan alasan mengapa ia melakukan hal itu. Saat Anda paham betul perasaan si kecil, Anda mungkin sekalki tidak akan ikut-ikutan marah

Minimalkan masalah .

Saat si kecil merasa jengkel karena gagal menyusun balok menjadi bentuk gedung yang ia inginkan, misalnya, Anda dapat menunjukkan penyebab kegagalannya.

Berikan batasan. Batasan memberi bimbingan dan rasa aman kepada anak. Menetapkan batasan dapat dikombinasi dengan waktu bermain bersama anak, khususnya ketika anak menunjukkan perilaku buruk.

Immanuella F. Rachmani

Cara Tepat Hadapi Gejolak Emosi Anak

• Latih anak usia dua tahun untuk berbicara dengan baik. Kalau anak berteriak, “Minum lagi! Mana jusnya yang tadi?” Anda dapat mencontohkan, “Saya masih haus. Minta jusnya lagi, boleh?”
• Bila anak tantrum , tetaplah tenang, hindari berteriak ke arah anak, bicara dengan lembut, kemudian peluklah anak.
• Bila anak takut pada bunyi-bunyian, misalnya bunyi blender atau bunyi vacuum cleaner , ajak anak mencari sumber suara. Tetap peluk anak. Tunjukkan padanya bahwa sumber suara tidak berbahaya bagi siapa pun. Cara ini mengajar anak mengenali sumber ketakutannya. Hindari menakut-nakuti anak, karena anak tidak akan pernah belajar mengatasi rasa takutnya.
• Kegembiraan si kecil berkait erat dengan aktivitasnya. Sediakan pasir, tanah, air dan lempung. Anak-anak sangat menyukai bermain kotor dan belajar sesuatu yang luar biasa dengan mencampur, mengaduk dan membentuk.

Wednesday, May 2, 2007

3 Aspek Yang Perlu Diperhatikan Orang Tua Dalam Rangka Mengamati Perkembangan Bicara Anak

Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan orang tua dalam rangka mengamati perkembangan bicara anak.

1. Aspek Semantik (arti bahasa).
Bila seorang anak akan mengatakan atau memahami sesuatu, ia harusmempunyai daftar kata-kata atau vokabulari yang cukup memadai, yang dengankata lain kita bisa mengatakan bahwa:
- si anak mempunyai cukup kata-kata agar bisa memproduksi dan memahami(bahasa aktif dan pasif);
- menemukan kata-kata yang tepat (memanggil kata dari daftar memori);
- memahami apa yang diucapkan (pengertian kalimat). Seorang anak kecil belajar berbicara mula-mula adalah dengan caramenunjuk berbagai benda-benda yang ada di sekitarnya atau kata kerja yangharus digunakannya. Menunjuk benda-benda yang dapat dilihatnya (kursi, meja,makan, boneka dlsb), atau kata yang dapatmenunjukkan pada pengertian tempat "disini" atau "sekarang". Daftar kata-kata ini akan segera meningkat tanpa batas.Namun bisa diperkirakan bahwa seorang anak pada usia dua tahun setidaknyamemerlukan 270 kata, 900 kata di usianya yang ketiga, dan sekitar 2500 hingga 4000 kata di usianya yang ke enam. Walau begitu seorang anaksebetulnya mempunyai lebih banyak lagi kata-kata(daftar kata-kata yang pasif) daripada yang bisa ia produksi (sebagai daftarkata aktif). Daftar kata pasif seorang anak berusia enam tahun bisa dua kalilipat banyaknya dibanding dengan daftar kata aktif yang dimilikinya. Dengankata lain anak berusia tiga hingga lima tahun akan mengalami kesulitanmemanggil kata-kata yang berada di dalam memorinya; seringkali sulitmenggunakan kata pada tempat dan waktu yang tepat. Kadang terjadi seoranganak akanmembuat kata-kata sendiri (neologis), atau bicaranya kacau,sepotong-sepotong, dan diulang-ulang.

2. Pembentukan bahasa.
Bagaimana sebuah kata atau kalimat dibentuk?
Aspek pembentukan katadan kalimat akan menyangkut pada tiga bagian aspek yaitu:

a. aspek fonologis.
Anak kita harus bisa belajar menggunakan dan mengucapkan bunyiandengan cara yang benar. Artinya bahwa bicara mempunyai kaitan dengan aspekfonologis ini. Bila seorang anak mengalami gangguan fonologis ini, makakelak ia akan mengalami masalah dalam bahasa dan bicara. Di usia kira-kiralima bulan, refleks oral (mulut) seperti misalnya refleks menghisap (untukmenyusu) akan hilang, berganti dengan gerakan-gerakan yang baik denganlidahnya,bibirnya, suara decak halus, rahang bawah, dan tenggorokan. Ia juga belajarmembedakan bunyian dan mengingatnya sebagai bunyian tertentu. Apabila iamendenger bunyian itu kembali, maka ia bisa mengenalnya kembali, sertamenggunakannya untuk tujuan tertentu.Pada akhirnya kemudian ia bisa berbicara dengan tujuan tertentu: misalnya mengucapkan kata mama akan berbeda artinya jika mengucapkan maem atau makan.Pada akhir tahun pertama umumnya anak-anak mempelajari bunyian dengan polabunyian yang sama. Pada akhir tahun kedua ia mulai bisa mengucapkankata-kata berupa beberapa suku katadengan baik karena kontrol otot-otot sudah semakin baik, yaitu otot lidah,bibir dan langit-langit. Dan juga ia sudah mampu mendengarkan dengan baik.Tinggal beberapa kata seperti s/l/r/ barulah akan dikuasai dengan baik diusianya yang kelima atau keenam. Sekalipun seorang anak bisa mengucapkan bunyian dengan baik, bukanberarti ia akan bisa juga dengan baik mengucapkan kata-kata. Ia masih harusbelajar lebih banyak lagi untuk mengucapkan kata-kata dengan baik, sehinggatidak meletakkan bunyian itu di tempat yang salah. Misalnya pabrikmenjadi perabik. Lokomotip menjadi molokotip. Baru pada usia enam tahun,kita boleh mengharapkan bahwa seorang anak haruslah sudah bisa dengan baikmengucapkan urutan bunyian itu dengan benar, menjadi sebuah kata yangmempunyai makna.
b. aspek morfologis
Dengan cara yang tepat anak mempelajari sebuah kata dan mengubahnyadengan cara yang benar, yaitu:

- penggunaan kata-kata jamak

- penggunaan awalan dan imbuhan- penggunaan kata yang memberi penjelasan pertambahan dan perbedaan

- penggunaan kata kerjaPada anak usia empat tahun biasanya sudah bisa menggunakan bentuk kata jamaksecara baik tanpa kesalahan, penggunaan imbuhan, pertambahan – perbedaan,dan kata kerja.

c. aspek sintaksis

Dalam fase ini anak akan belajar membangun kalimat dengan baik.- ia akan berbicara dengan urutan kata-kata secara benar dalam sebuahkalimat- kalimat dalam bentuk lengkap, dan tidak ada kata yang tertinggal- ia memahami berbagai perbedaan muatan kalimat misalnya kalimatbertanya, kalimat berempati, kalimat mengharap, atau kalimat menyangkal. Anak yang mengalami masalah dalam siktaksis akan berkata misalnya:"Kabel sudah telepon rusak", yang seharusnya diucapkan: "Kabel teleponsudah rusak." Atau "Mau minum." Seharusnya: "Saya mau minum."

3. Penggunaan bahasa, aspek pragmatik .
Dalam hal ini si anak akan menggunakan bahasa dalam konteks yang tepat dan untuk apa. Beberapa contoh yang berkaitan dengan aspek pragmatik:- Bila ada seseorang tengah berbicara, maka ia tidak akan berbicarasecara bersamaan, tetapi menunggu seseorang tadi selesai bicara.- Ia menjawab apa yang ditanya teman bicaranya, misalnya: . Pada pertanyaan : "Apakah engkau akan menggunakan jaket? "ia menjawab : "Tidak saya merasa cukup hangat". Jawaban ini cocok denganpertanyaannya. . Seorang anak bercerita bahwa saat berulang tahun ia diajakberenang oleh orang tuanya, temannya bereaksi: "Tadi pagi saya melihatanjing besar sekali?"Reaksi ini sesuai dengan apa yang menjadi topicbicara. . Kita bertanya pada anak kita: "Apakah engkau sudah mengikattali sepatumu?" Lalu dijawab oleh anak kita: "Saya baru saja makan eskrim." Jawaban ini secara Pragmatik menjawab tidak pada konteks yang benar.Mieke Pronk-Boerma juga membagi periode perkembangan bicara menjadi periodepra-verbal dan periode verbal. Periode pra verbal menurutnya merupakanperiode yang sangat penting, yang dibaginya menjadi:


- minggu ke 0 – 6 : menangis
- minggu ke 6 hingga bulan ke 4 : vokalisasi : ah, uh
- bulan ke 4 – 8 : babbling atau mengoceh (bunyian vocal terusmenerus), misalnya: gagaggagagag….aaaaaa,…..tatatatatatata.Pada periode ini bunyi bahasa ibu juga diproduksinya.


Si anak juga akanmengikuti apa yang ibu ucapkan, sambil ia mengikuti ucapan ibu ataupengasuhnya, segera ia akan mengucapkan papa, mama. Seorang bayi yang tuli,juga akan melakukan babbling ini, tetapi kemudianakan berhenti di usianya yang ke 8 -9 bulan.

- Bulan ke 8 – 12:

social babbling, yaitu mengoceh dengan cara dimanapola bunyian dari sekitarnya akan diambil alihnya, ia juga akan melakukanimitasi pola bunyian kalimat. Pola bunyian yang tidak termasuk dalam bahasaibu akan segera hilang. Kemudian anak akan mendengarkan, mengoceh danmengikuti, terus menerus hingga terjadilah pemahaman terhadap kata-kata, danpenggunaan kata-kata; pemahaman kata akan dengan sendiri kemudiandiucapkannya.

Dalam periode ini muncul bentuk yang disebut echolalia yaitusi anak hanya mengulang apa kata pengasuh tanpa kata-kata tersebut mempunyaimaksud tertentu atau tanpa arti apa-apa.Periode verbal mempunyai beberapa fase yaitu:

- bulan ke 12 – 15 :
yang merupakan fase kalimat dengan satu kata.Misalnya seorang anak mengatakan: "Mobil!" Maksudnya adalah: "Saya mintasebuah mobil!" atau: "Beri saya mobil itu!" atau: "Itu mobil bagus!" dansebagainya. Si anak akan menanyakan nama-nama segala sesuatu dengan caramenunjuk-nunjuk dan dengan cara tertentu ia menyebutkannya kembali. Si anakbelum menyangkal dengan kata, tetapi sudah membuat gerakan menggeleng dengankepala.

- Bulan ke 15 - 2 tahun:

fase kalimat dengan dua kata.Seorang anak usia dua tahun biasanya sudah mempunyai 270 kata. Ia jugabertanya dengan intonasi bertanya. Ia mulai menyangkal dengan kata-kata.Banyak kata-kata yang masih terpotong , misalnya "minum" menjadi "minum".

-Usia 2 – 3 tahun:
yang merupakan fase kalimat dengan banyakkata. Kalimat terdiri dari kata benda dan kata kerja. Apa yang diucapkanlebih kepada arti atau maksud kalimat yang diucapkan, namun belum dalambentuk kalimat yang benar. Tetapi dalam usia ini daftar kata yang dimilikiakan meningkat dengan pesat. Suku kata akan diucapkan dengan lebih baik. Iajuga mulai menggunakan bentuk kamu-dan saya. Kadang ia masih menggunakanbentuk –kamu jika berkata pada dirinya sendiri. "Mana bonekamu? " padahalmaksudnya: "Dimana boneka itu saya taruh?"

-Usia 3 – 4 tahun:
si anak akan banyak mengerti berbagai hal, danbanyak bercerita. Ia juga sudah bisa mengucapkan bunyian berbagai hurufkecuali /s/l/r. Juga masih ada beberapa kesalahan dengan pengucapan katasambung, tetapi sudah bisa berbicara dengan aturan sebuah kalimat termasukurutan kata, imbuhan, dan pemotongan kalimat. Kata jamak juga bisadibentuk. Seringkali masih ada kata-kata yang diulang –ulang karena berpikirbaginya lebih cepat daripada mengucapkan kalimat. Nampaknya seperti seoranganak yang gagap, tetapi sebetulnya bukan.

-Usia 4 – 6 tahun:
Di usia enam anak-anak ini akan semakin baikmengucapkan berbagai huruf, juga untuk huruf-huruf yang sulit seperti s danr. Ia juga semakin membaik dengan aturan pembuatan kalimat, termasuk jugapenggunaan kata penghubung: dan, tapi, atau,karena, sebab… dlsb. Dalam usia ini anak juga mulai dengan menyampaikanpemikiran dari abstraksinya.
Dicuplik dari: Mieke Pronk-Broerma, Logopedie voor onderwijs gevenden(1994).